Monday, July 2, 2018

Pertanian di Enggano, Pulau Indah di Batas Indonesia


Perjalanan Menuju Enggano, Pulau Indah di Batas Indonesia
Peni lestari

                April 2015 tim besar kami bertandang ke Pulau Enggano, salah satu dari beberapa pulau yang terletak di bagian barat pulau Sumatera. Tim besar yang terdiri dari beberapa satuan kerja Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) datang untuk inventarisasi kekayaan alam daerah ini. Tentunya dengan tujuan besar untuk memakmurkan masyarakat lokal di Pulau tersebut.
                Langsung menghadap ke Samudera Hindia, menjadikan cuaca di sana cepat berubah-ubah. Selama 12 hari kami berada di sana, hujan terjadi hampir 5 kali dalam sehari. Kondisi ini cukup menantang kegiatan eksplorasi juga kondisi fisik kami. Alhamdulillah hingga pulang, semua anggota tim masih dalam keadaan sehat. Penyakit yang hinggap adalah rindu berat dengan keluarga. Terdapat beberapa Desa di Pulau yang berbentuk memanjang ini, bertutur – turut dari Selatan ke Utara adalah Kahyapu, Kaana, Malakoni, Meok, Apoho, dan Banjarsari. Di pulau ini terdapat beberapa unit layanan kesehatan, seperti puskesmas di Daerah Malakoni, sebagai pusat Pemerintahan Kecamatan, juga terdapat unit kesehatan di setiap desa. Fasilitas lain yang dijumpai di pulau ini adalah sarana pendidikan. Terdapat PAUD dan SD di setiap desa, SMP hanya di desa Kahyapu dan Banjarsari, serta SMA di desa Kaana.namun demikian, tenaga pendidik dan kesehatan masih sangat terbatas. Fasilitas peribadatan yang ditemui adalah masjid dan gereja. Masjid terdapat di setiap desa, sedangkan Gereja hanya dijumpai di daerah Meok dan Apoho. Informasi dari warga, juga terdapat tempat peribadatan untuk umat Kristiani di daerah Kahyapu.

Perjalanan ke Enggano
                Akses menuju Pulau Enggano dapat ditempuh dengan menggunakan kapal Feri KM Pulo Telo yang beroperasi 2 kali dalam seminggu. Kapal Feri berangkat sore hari, sekitar pukul 17 WIB, dari Pelabuhan Bai, di Bengkulu, dan berlabuh di Pelabuhan Kahyapu, Pulau Enggano. Perjalanan ini menempuh waktu sekitar 12 jam. Jadi pasa saat itu, kami tiba subuh di sana dan kondisi Dermaga masih gelap gulita. Mode transportasi lain yang dapat digunakan untuk ke pulau Enggano adalah kapal perintis sabuk nusantara yang beroperasi dua kali dalam seminggu (hari Selasa dan Sabtu: Bengkulu-Enggano, senin dan Jumat: Enggano Bengkulu), juga pesawat terbang Susi Air yang beroperasi setiap Senin dan Jumat. Namun tim 12 hari, berangkat dan pulang menggunakan Kapal Feri. Hal penting yang perlu diperhatikan bila menggunakan kapal Feri sebagai pilihan transportasi adalah cuaca. Pada musim penghujan, dimana curah hujan cenderung tinggi dan angin cukup kencang, seringkali terjadi badai di laut yang dapat menunda jadwal perjalanan kapal.
Feri KM Pulo Telo
                Perjalanan antar desa di Enggano umumnya ditempuh menggunakan motor. Ada jasa ojek yang siap digunakan, dengan tarif Rp. 150.000 per hari. Mobilisasi massa dapat dilakukan menggunakan mobil pick up dengan tarif Rp. 200.000 per hari. Jalan desa, pada tahun 2015, belum bagus, terutama akses dari Desa Kahyapu di bagian selatan ke desa lainnya. Ada cukup banyak lubang di jalan antara kedua desa ini. Biasanya masyarakat menggunakan jalur pantai untuk pergi ke desa sebelah. Hanya saja, perjalanan lewat pantai harus menghitung kapan waktu pasang surut air laut, sehingga tidak akan terjebak air pasang saat di perjalanan.
                Pulau Enggano tidak memiliki pasar, namun ada beberapa warung makanan dan toko kelontong di sana. Jadi, bila hendak singgah dalam waktu cukup lama, sangat diharapkan membawa perbekalan yang cukup. Pulau tersebut juga belum memiliki fasilitas penginapan. Namun demikian, ada beberapa rumah warga atau bale pertemuan yang disiapkan bagi para pelancong yang bertandang ke pulau ini.

Jalan pantai yang bisa dilalui

Pertanian di Pulau Enggano
Dari kacamata pertanian, Enggano adalah pulau yang subur. Bapak Matroni, Kepala Dusun Jangkar, Desa Malakoni, menuturkan bahwa Pulau Enggano diduga terbentuk dari tumpukan karang. Dugaan ini dipertegas dengan sering ditemukannya karang besar saat permukaan lahan, bahkan hingga ketinggian sekitar 80 mdpl. Hasil pengukuran pH tanah juga menunjukkan kisaran angka 6.4-7.0 dari skala 0-14.0. Nilai kisaran yang demikian mengindikasikan tanah tersebut cocok untuk mendukung pertumbuhan sebagian besar spesies budidaya. Selama eksplorasi juga masih jarang dijumpai Imperata cylindrica, Melastoma malabathricum, dan Micania michrantha yang menjadi indikator ketidaksuburan lahan. Ketiga spesies ini dijumpai di desa Meok, sekitar Bandara.
Tanaman pangan utama yang dibudidayakan di pulau ini adalah padi, mulai desa Kahyapu di daerah selatan hingga desa Banjarsari. Jenis padi yang umum ditanam di daerah selatan (Desa Kahyapu dan Kaana) adalah padi sawah, varietas Ciherang, IR, dan Situbagendit, karena tanahnya cenderung datar dan berada di dataran rendah, sehingga mudah dibangun saluran irigasi dan drainase. Biasanya sawah hanya ditanam padi secara monokultur. Pematang sawah dibiarkan kosong atau ditanami talas.
Lain dengan daerah selatan, petani di daerah tengah hingga utara pulau (Mulai desa Malakoni, Apoho, Meok, hingga Banjarsari) lebih banyak menanam padi huma, kultivar sidomuncul, atau kultivar padi sawah yang ditanam dengan sistem tadah hujan. Daerah yang berbukit dan tidak adanya jaringan irigasi menjadi alasan utama mengapa padi huma yang dipilih. Lokasi penanaman padi umumnya di lorong tanaman perkebunan, seperti pisang, kakao, atau kopi. Sehingga manakala tanaman perkebunan telah besar dan memiliki tajuk yang rapat, tanaman padi tidak lagi bisa diusahakan. Tidak ada satupun varietas lokal yang dibudidayakan oleh penduduk setempat, baik padi huma maupun padi sawah. Ini mengindikasikan bahwa tidak terdapat sumberdaya genetik padi di pulau Enggano.
Padi ditanam 2 kali dalam setahun, dengan sistem rotasi tanaman padi-padi-kacang-kacangan. Penanaman dilakukan secara serempak pada sekitar bulan September hingga Oktober, tanpa melihat musim, karena kondisi cuaca yang tidak menentu sejak terjadinya gempa di tahun 2000. Tetapi, biasanya bulan April hingga Agustus adalah musim kemarau. Penanaman padi dilkukan secara gotong royong, demikian juga dengan pemanenan. Padi dipanen menggunakan ani-ani. Jerami sisa panen dibenamkan kembali ke dalam tanah. Hasil panen sebagian dibagikan sebagai upah tenaga kerja yang diperbantukan, sebagian disimpan dalam bentuk gabah, dan hanya dijual bila penduduk membutuhkan uang. Berkat kearifan lokal tersebut, hingga saat ini padi di Enggano sudah dapat tumbuh dan berproduksi hingga 2 ton/ha tanpa penggunaan pupuk. Hara tanah berasal dari jerami yang dibenamkan, kondisi pH tanah yang berada di kisaran 6.2-7 juga mendukung tersedianya kandungan hara mikro dan makro bagi tanaman. Penggunaan pestisida juga sangat minim, karena rendahnya tingkat serangan hama dan penyakit. Hama utama pertanaman padi adalah babi hutan. Baru belakangan burung pipit mulai menjadi hama pada pertanaman padi di Enggano. Berdasarkan fakta ini, maka dianjurkan untuk tidak membawa padi dri daerah lain ke Enggano untuk mencegah penyebaran penyakit dan hama.
Seperti padi, jenis serealia lain, yakni jali kuning, sorgum, trubuk, dan jewawut; juga merupakan hasil domestikasi dari daerah lain. Semua jenis serealia ini baru mulai dikembangkan. Pak Maman, petani jali, menyatakan bahwa ia mendatangkan benih jali kuning dari daerah Sumedang, Jawa Barat sekitar tahun 2013. Jenis serealia yang diduga asli Enggano adalah jali kaca (Gambar …). Jenis jali ini ditemukan tumbuh liar di sekitar sungai, selokan, atau daerah aliran air lain di Desa Malakoni hingga Banjarsari. Pada eksplorasi kali ini tim berhasil mengoleksi jewawut, jali batu, jali kuning, dan aneka padi (huma dan sawah).
Tanaman perkebunan yang popular dibudidayakan adalah pisang, terutama pisang Kepok. Perkebunan pisang terbentang, mulai Kahyapu hingga Banjarsari. Dari 6 desa yang dikunjungi, perkebunan pisang paling luas ada di Desa Banjarsari dan Meok. Selain kepok, pisang jantan juga cukup popular, jenis pisang lain yang dibudidayakan skala terbatas adalah pisang mas, ambon, barangan, dan pisang lokal, yakni Kamanyan dan Kamiyu. Kedua jenis pisang ini biasa digunakan sebagai makanan adat pada acara penyambutan. Tidak ditemukan satupun penyakit pisang selama eksplorasi di Pulau Enggano. Dengan demikian direkomendasikan untuk mengembangkan pisang lokal dan melarang jenis pisang dari luar pulau untuk datang ke Enggano. Hal ini sangat berguna untuk mencegah penularan penyakit terutama yang terbawa bibit.
Berkat suburnya tanah Enggano, masyarakat mengaku tidak pernah mengalami kelaparan sejak tahun 1990an. Makanan pokok mereka adalah beras, demikian juga dengan aneka camilan dan kue khas hari raya. Semua berbasis tepung beras. Masyarakat hampir tidak mengonsumsi dan membudidayakan umbi-umbian. Selain karena tingkat kesukaan yang tinggi pada beras, keengganan masyarakat menanam umbi-umbian juga dipicu dari hama babi hutan yang kerap menyerang pertanaman umbi-umbian mereka. Serangan hama ini semakin menurunkan minat masyarakat Enggano untuk membudidayakan komoditas umbi-umbian. Kalaupun ada itu sebagai tanaman sela di pematang sawah (Desa Kahyapu) atau hanya sekedar menjadi tanaman pekarangan. Namun demikian, masyarakat Enggano sampai saat ini masih memiliki makanan adat berbasis umbi lokal yang diolah dengan cara direbus, lalu ditaburi kelapa parut, kemudian dibungkus dengan daun pisang. Olahan berbasis umbi ini mencerminkan bahwa dahulu mereka pernah mengonsumsi umbi.
                Penelusuran ke beberapa tokoh menghasilkan fakta bahwa pada tahun 1980an masyarakat Enggano memang pernah mengalami kelaparan, karena musim kemarau yang berkepanjangan, hampir 8 bulan. Pada masa itu, mereka mengkonsumsi ubi kayu hutan (Dioscorea sp), talas telur (Alocasia sp.), gadung (D.hispida), dan melinjo hutan (Gnetum gnemon). Namun setelah masa tersebut, tanah mereka subur, bahkan sejak gempa di tahun 2000, pulau ini cenderung mengalami musim hujan yang lebih panjang dengan intensitas hujan yang lebih tinggi. Jenis umbi lokal yang berhasil dikoleksi adalah ubi kayu hutan (Dioscorea sp), talas telur (Alocasia sp.), talas minyak (Alocasia sp.), talas bata (Alocasia sp.), talas merah (Colocasia sp.), gadung (D.hispida), Taka (Tacca leontopetaloides), dan kentang gantung (D.bulbifera).

Simak perjalanan kami di Pulau Enggano di link berikut 


1 comment:

  1. sama sama mbak Chelsea. insya Allah segera meninggal jejak di webnya ^.^

    ReplyDelete