Perjalanan Menuju Enggano, Pulau Indah di Batas Indonesia
Peni lestari
April
2015 tim besar kami bertandang ke Pulau Enggano, salah satu dari beberapa pulau
yang terletak di bagian barat pulau Sumatera. Tim besar yang terdiri dari
beberapa satuan kerja Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) datang untuk inventarisasi
kekayaan alam daerah ini. Tentunya dengan tujuan besar untuk memakmurkan masyarakat
lokal di Pulau tersebut.
Langsung
menghadap ke Samudera Hindia, menjadikan cuaca di sana cepat berubah-ubah.
Selama 12 hari kami berada di sana, hujan terjadi hampir 5 kali dalam sehari. Kondisi
ini cukup menantang kegiatan eksplorasi juga kondisi fisik kami. Alhamdulillah hingga
pulang, semua anggota tim masih dalam keadaan sehat. Penyakit yang hinggap
adalah rindu berat dengan keluarga. Terdapat beberapa Desa di Pulau yang
berbentuk memanjang ini, bertutur – turut dari Selatan ke Utara adalah Kahyapu,
Kaana, Malakoni, Meok, Apoho, dan Banjarsari. Di pulau ini terdapat beberapa
unit layanan kesehatan, seperti puskesmas di Daerah Malakoni, sebagai pusat
Pemerintahan Kecamatan, juga terdapat unit kesehatan di setiap desa. Fasilitas
lain yang dijumpai di pulau ini adalah sarana pendidikan. Terdapat PAUD dan SD
di setiap desa, SMP hanya di desa Kahyapu dan Banjarsari, serta SMA di desa
Kaana.namun demikian, tenaga pendidik dan kesehatan masih sangat terbatas.
Fasilitas peribadatan yang ditemui adalah masjid dan gereja. Masjid terdapat di
setiap desa, sedangkan Gereja hanya dijumpai di daerah Meok dan Apoho.
Informasi dari warga, juga terdapat tempat peribadatan untuk umat Kristiani di
daerah Kahyapu.
Perjalanan ke Enggano
Akses
menuju Pulau Enggano dapat ditempuh dengan menggunakan kapal Feri KM Pulo Telo
yang beroperasi 2 kali dalam seminggu. Kapal Feri berangkat sore hari, sekitar
pukul 17 WIB, dari Pelabuhan Bai, di Bengkulu, dan berlabuh di Pelabuhan
Kahyapu, Pulau Enggano. Perjalanan ini menempuh waktu sekitar 12 jam. Jadi pasa
saat itu, kami tiba subuh di sana dan kondisi Dermaga masih gelap gulita. Mode
transportasi lain yang dapat digunakan untuk ke pulau Enggano adalah kapal
perintis sabuk nusantara yang beroperasi dua kali dalam seminggu (hari Selasa
dan Sabtu: Bengkulu-Enggano, senin dan Jumat: Enggano Bengkulu), juga pesawat
terbang Susi Air yang beroperasi setiap Senin dan Jumat. Namun tim 12 hari,
berangkat dan pulang menggunakan Kapal Feri. Hal penting yang perlu
diperhatikan bila menggunakan kapal Feri sebagai pilihan transportasi adalah
cuaca. Pada musim penghujan, dimana curah hujan cenderung tinggi dan angin
cukup kencang, seringkali terjadi badai di laut yang dapat menunda jadwal
perjalanan kapal.
Feri KM Pulo Telo |
Perjalanan
antar desa di Enggano umumnya ditempuh menggunakan motor. Ada jasa ojek yang
siap digunakan, dengan tarif Rp. 150.000 per hari. Mobilisasi massa dapat
dilakukan menggunakan mobil pick up dengan tarif Rp. 200.000 per hari. Jalan
desa, pada tahun 2015, belum bagus, terutama akses dari Desa Kahyapu di bagian
selatan ke desa lainnya. Ada cukup banyak lubang di jalan antara kedua desa
ini. Biasanya masyarakat menggunakan jalur pantai untuk pergi ke desa sebelah.
Hanya saja, perjalanan lewat pantai harus menghitung kapan waktu pasang surut
air laut, sehingga tidak akan terjebak air pasang saat di perjalanan.
Pulau
Enggano tidak memiliki pasar, namun ada beberapa warung makanan dan toko
kelontong di sana. Jadi, bila hendak singgah dalam waktu cukup lama, sangat
diharapkan membawa perbekalan yang cukup. Pulau tersebut juga belum memiliki fasilitas penginapan. Namun demikian, ada beberapa rumah warga atau bale pertemuan yang disiapkan bagi para pelancong yang bertandang ke pulau ini.
Jalan pantai yang bisa dilalui |
Pertanian di Pulau Enggano
Dari kacamata
pertanian, Enggano adalah pulau yang subur. Bapak Matroni, Kepala Dusun
Jangkar, Desa Malakoni, menuturkan bahwa Pulau Enggano diduga terbentuk dari
tumpukan karang. Dugaan ini dipertegas dengan sering ditemukannya karang besar saat
permukaan lahan, bahkan hingga ketinggian sekitar 80 mdpl. Hasil pengukuran pH
tanah juga menunjukkan kisaran angka 6.4-7.0 dari skala 0-14.0. Nilai kisaran
yang demikian mengindikasikan tanah tersebut cocok untuk mendukung pertumbuhan sebagian
besar spesies budidaya. Selama eksplorasi juga masih jarang dijumpai Imperata cylindrica, Melastoma malabathricum, dan Micania michrantha yang menjadi
indikator ketidaksuburan lahan. Ketiga spesies ini dijumpai di desa Meok,
sekitar Bandara.
Tanaman pangan
utama yang dibudidayakan di pulau ini adalah padi, mulai desa Kahyapu di daerah
selatan hingga desa Banjarsari. Jenis padi yang umum ditanam di daerah selatan
(Desa Kahyapu dan Kaana) adalah padi sawah, varietas Ciherang, IR, dan Situbagendit,
karena tanahnya cenderung datar dan berada di dataran rendah, sehingga mudah
dibangun saluran irigasi dan drainase. Biasanya sawah hanya ditanam padi secara
monokultur. Pematang sawah dibiarkan kosong atau ditanami talas.
Lain dengan
daerah selatan, petani di daerah tengah hingga utara pulau (Mulai desa
Malakoni, Apoho, Meok, hingga Banjarsari) lebih banyak menanam padi huma,
kultivar sidomuncul, atau kultivar padi sawah yang ditanam dengan sistem tadah
hujan. Daerah yang berbukit dan tidak adanya jaringan irigasi menjadi alasan
utama mengapa padi huma yang dipilih. Lokasi penanaman padi umumnya di lorong
tanaman perkebunan, seperti pisang, kakao, atau kopi. Sehingga manakala tanaman
perkebunan telah besar dan memiliki tajuk yang rapat, tanaman padi tidak lagi
bisa diusahakan. Tidak ada satupun varietas lokal yang dibudidayakan oleh
penduduk setempat, baik padi huma maupun padi sawah. Ini mengindikasikan bahwa
tidak terdapat sumberdaya genetik padi di pulau Enggano.
Padi ditanam 2
kali dalam setahun, dengan sistem rotasi tanaman padi-padi-kacang-kacangan.
Penanaman dilakukan secara serempak pada sekitar bulan September hingga
Oktober, tanpa melihat musim, karena kondisi cuaca yang tidak menentu sejak
terjadinya gempa di tahun 2000. Tetapi, biasanya bulan April hingga Agustus
adalah musim kemarau. Penanaman padi dilkukan secara gotong royong, demikian
juga dengan pemanenan. Padi dipanen menggunakan ani-ani. Jerami sisa panen
dibenamkan kembali ke dalam tanah. Hasil panen sebagian dibagikan sebagai upah
tenaga kerja yang diperbantukan, sebagian disimpan dalam bentuk gabah, dan
hanya dijual bila penduduk membutuhkan uang. Berkat kearifan lokal tersebut,
hingga saat ini padi di Enggano sudah dapat tumbuh dan berproduksi hingga 2
ton/ha tanpa penggunaan pupuk. Hara tanah berasal dari jerami yang dibenamkan,
kondisi pH tanah yang berada di kisaran 6.2-7 juga mendukung tersedianya
kandungan hara mikro dan makro bagi tanaman. Penggunaan pestisida juga sangat
minim, karena rendahnya tingkat serangan hama dan penyakit. Hama utama
pertanaman padi adalah babi hutan. Baru belakangan burung pipit mulai menjadi
hama pada pertanaman padi di Enggano. Berdasarkan fakta ini, maka dianjurkan
untuk tidak membawa padi dri daerah lain ke Enggano untuk mencegah penyebaran
penyakit dan hama.
Seperti padi,
jenis serealia lain, yakni jali kuning, sorgum, trubuk, dan jewawut; juga
merupakan hasil domestikasi dari daerah lain. Semua jenis serealia ini baru
mulai dikembangkan. Pak Maman, petani jali, menyatakan bahwa ia mendatangkan
benih jali kuning dari daerah Sumedang, Jawa Barat sekitar tahun 2013. Jenis
serealia yang diduga asli Enggano adalah jali kaca (Gambar …). Jenis jali ini
ditemukan tumbuh liar di sekitar sungai, selokan, atau daerah aliran air lain
di Desa Malakoni hingga Banjarsari. Pada eksplorasi kali ini tim berhasil
mengoleksi jewawut, jali batu, jali kuning, dan aneka padi (huma dan sawah).
Tanaman
perkebunan yang popular dibudidayakan adalah pisang, terutama pisang Kepok.
Perkebunan pisang terbentang, mulai Kahyapu hingga Banjarsari. Dari 6 desa yang
dikunjungi, perkebunan pisang paling luas ada di Desa Banjarsari dan Meok.
Selain kepok, pisang jantan juga cukup popular, jenis pisang lain yang
dibudidayakan skala terbatas adalah pisang mas, ambon, barangan, dan pisang
lokal, yakni Kamanyan dan Kamiyu. Kedua jenis pisang ini biasa digunakan
sebagai makanan adat pada acara penyambutan. Tidak ditemukan satupun penyakit
pisang selama eksplorasi di Pulau Enggano. Dengan demikian direkomendasikan
untuk mengembangkan pisang lokal dan melarang jenis pisang dari luar pulau
untuk datang ke Enggano. Hal ini sangat berguna untuk mencegah penularan
penyakit terutama yang terbawa bibit.
Berkat suburnya
tanah Enggano, masyarakat mengaku tidak pernah mengalami kelaparan sejak tahun
1990an. Makanan pokok mereka adalah beras, demikian juga dengan aneka camilan
dan kue khas hari raya. Semua berbasis tepung beras. Masyarakat hampir tidak
mengonsumsi dan membudidayakan umbi-umbian. Selain karena tingkat kesukaan yang
tinggi pada beras, keengganan masyarakat menanam umbi-umbian juga dipicu dari
hama babi hutan yang kerap menyerang pertanaman umbi-umbian mereka. Serangan
hama ini semakin menurunkan minat masyarakat Enggano untuk membudidayakan
komoditas umbi-umbian. Kalaupun ada itu sebagai tanaman sela di pematang sawah
(Desa Kahyapu) atau hanya sekedar menjadi tanaman pekarangan. Namun demikian, masyarakat
Enggano sampai saat ini masih memiliki makanan adat berbasis umbi lokal yang
diolah dengan cara direbus, lalu ditaburi kelapa parut, kemudian dibungkus
dengan daun pisang. Olahan berbasis umbi ini mencerminkan bahwa dahulu mereka
pernah mengonsumsi umbi.
Penelusuran
ke beberapa tokoh menghasilkan fakta bahwa pada tahun 1980an masyarakat Enggano
memang pernah mengalami kelaparan, karena musim kemarau yang berkepanjangan, hampir
8 bulan. Pada masa itu, mereka mengkonsumsi ubi kayu hutan (Dioscorea sp), talas telur (Alocasia sp.), gadung (D.hispida), dan melinjo hutan (Gnetum gnemon). Namun setelah masa
tersebut, tanah mereka subur, bahkan sejak gempa di tahun 2000, pulau ini
cenderung mengalami musim hujan yang lebih panjang dengan intensitas hujan yang
lebih tinggi. Jenis umbi lokal yang berhasil dikoleksi adalah ubi kayu hutan (Dioscorea sp), talas telur (Alocasia sp.), talas minyak (Alocasia sp.), talas bata (Alocasia sp.), talas merah (Colocasia sp.), gadung (D.hispida), Taka (Tacca leontopetaloides), dan kentang gantung (D.bulbifera).
Simak perjalanan kami di Pulau Enggano di link berikut
sama sama mbak Chelsea. insya Allah segera meninggal jejak di webnya ^.^
ReplyDelete