Seberapa Rentankah Kita Terhadap Bencana?
Peni Lestari
Tidak ada yang bisa menolak
bencana, tapi kita bisa meminimalisasi dampaknya, terutama bagi daerah-daerah
yang rentan terpapar bencana. Daerah yang seperti apa yang dikatakan rentan? Bapak
Matthias Garschagen dari UNU-EHS menuturkan bahwa kerentanan suatu wilayah
bukan cuma berdasarkan lokasi, kontur, dan iklim wilayah tersebut, tetapi juga
struktur masyarakatnya. Tidak peduli berada di daerah pesisir atau pegunungan;
kota atau desa; bila masyarakat di daerah tersebut memiliki tingkat ekonomi
yang rendah, dengan piramida penduduk cenderung lebih banyak generasi lawas dan
atau anak-anak, apalagi minim sarana kesehatan dan perlindungan, maka daerah
tersebut termasuk rentan terhadap bencana.
Sebaliknya, meskipun daerah
tersebut kerap disambangi bencana, seperti angin topan, gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, atau aneka bencana lainnya; namun mereka memiliki akses yang
baik terhadap fasilitas, seperti kesehatan, pendidikan, dan tempat
perlindungan, maka masyarakat tersebut dikategorikan tahan bencana. Contohnya konkretnya
adalah Jepang vs Indonesia. Negara Jepang dan Indonesia sama-sama berada di
atas lempeng benua. Keduanya sering terpapar bencana, namun tingkat kerentanan
Negara Indonesia lebih tinggi dari Jepang. Ini karena Jepang memiliki teknologi
yang dapat mengantisipasi bencana. Masyarakat di Negara tersebut juga memiliki
akses yang lebih baik terhadap fasilitas kesehatan dan keamanan.
Ini adalah kutipan singkat apa
yang disampaikan dalam training 4 hari yang bertema “Training Course on Climate
Variability and Disaster Risk Reduction”, pada tanggal 9 – 12 Maret 2015.
Training ini adalah hajat gabungan antara Departemen Meteorologi dan Geofisika,
Institut Pertanian Bogor (Dept. GEOMET IPB) sebagai tuan rumah, dengan pihak
UNU-EHS (United Nation University-Environment and Human Security), Jerman.
Training selama 4 hari yang diselenggarakan di Kampus IPB, Dramaga, Bogor ini
dilakukan dengan tujuan menambah wawasan mengenai kajian kerentanan wilayah
akibat perubahan iklim, mengembangkan indikator kerentanan, dan menemukan
solusi tentang pengelolaan sumberdaya yang berkaitan dengan perubahan iklim.
Pada training itu, diperjelas
bahwa bencana lingkungan tidak melulu terjadi akibat perubahan iklim. Tsunami,
gunung meletus, gempa, merupakan bencana lingkungan. Akan tetapi bukan terjadi
akibat perubahan iklim. Bencana yang seperti ini tidak dapat dihindari, tetapi
kita dapat mempersenjatai wilayah dengan mitigasi bencana, seperti program early warning system yang telah
dilakukan beberapa Negara secara terpadu, termasuk Indonesia. Dalam kuliahnya,
Mr. Joerg Szarzynski (UNU-EHS) menyampaikan bahwa negara-negara yang memiliki
satelit di Luar Angkasa, dapat memperoleh informasi akurat mengenai keadaan di
bumi. Informasi tersebut kemudian diteruskan pada satelit penerima di bumi,
diolah, dan diinformasikan ke Negara yang bersangkutan. Dengan demikian, Negara
yang akan terkena bencana dapat melakukan tindakan untuk memperkecil dampak
bencana. Hebatnya, sistem ini dapat menerobos segala aturan politik yang ada di
Negara tersebut. Dalam Keadaan Genting, Aturan Politik Menjadi Tidak Penting.
Selanjutnya, Dr. Perdinan (Dosen Dept. GEOMET IPB) membahas detil mengenai
aturan main pemerintah yang diterapkan di Indonesia terkait dengan kebencanaan.
Pada kasus yang lain, ada bencana
yang terjadi akibat perubahan iklim. Ini berlangsung terus menerus, secara
perlahan, namun mengakibatkan dampak yang besar apabila tidak dilakukan
tindakan pencegahan. Contoh untuk daerah pesisir adalah kenaikan muka air laut,
penurunan tanah, erosi pantai, perubahan pola curah hujan, dan lain sebagainya.
Karena dapat diprediksi, maka dapat melakukan tindakan pencegahan. Untuk tipe
bencana yang demikian, Dr. Renaud Fabrice dan Dr. Ferdinan menyampaikan bahwa
penting untuk melakukan pemetaan kerentanan, kemudian kombinasi antara
pembangunan bangunan massif sebagai benteng perlindungan, pemeliharaan
ekosistem tepi pantai sangat penting untuk dilakukan. Disamping pembangunan
berbagai sarana kesehatan, posko perlindungan untuk tempat perlindungan bila
terjadi bencana. Ketiganya dapat saling mendukung untuk mengurangi resiko
akibat perubahan iklim.
Salah satu kasus yang diangkat
dalam training tersebut adalah banjir Jakarta. Peserta dari berbagai kalangan:
akademisi (LIPI dan mahasiswa Dept. GEOMET IPB), juga praktisi (petani pemilik
lahan), dan institusi yang berhubungan dengan mitigasi bencana (BMKG dan
KEMENTAN) diberi informasi secara padat, jelas, dan ringkas mengenai pola curah
hujan di Jakarta dan wilayah sekitarnya. Berdasarkan gambaran yang disampaikan Dr.
Imam Hidayat dan Dr Ahmad Faqih (Dosen Dept. GEOMET IPB) mengenai pergerakan
awan dan intensitas curah hujan di atas langit Jakarta dari tahun ke tahun. Curah
hujan ini bersifat tetap karena cenderung dipengaruhi oleh kontur daratan dan
perbedaan suhu harian. Mengapa sampai banjir? Jawaban ini didapat dari tinjauan
lapang selama satu hari ke bagian hulu sungai Ciliwung. Dari kunjungan tersebut
dapat disimpulkan bahwa banjir Jakarta terjadi karena curah hujan yang semakin
tinggi. Tata guna lahan di hulu sungai yang mayoritas diperuntukkan untuk
bangunan dan pertanian semakin memperparah erosi di aliran DAS Ciliwung.
Hasilnya, tanah tidak dapat menyerap air, sungai tidak mampu menampung debit
air yang besar. Akhirnya…banjir deh.
Catatan. tulisan ini sudah pernah di publish di wartakita vol 8(4) 2015 Pusat Penelitian Biologi
No comments:
Post a Comment