Wednesday, May 16, 2018

Seberapa Rentankah Kita Terhadap Bencana?


Seberapa Rentankah Kita Terhadap Bencana?
Peni Lestari

Tidak ada yang bisa menolak bencana, tapi kita bisa meminimalisasi dampaknya, terutama bagi daerah-daerah yang rentan terpapar bencana. Daerah yang seperti apa yang dikatakan rentan? Bapak Matthias Garschagen dari UNU-EHS menuturkan bahwa kerentanan suatu wilayah bukan cuma berdasarkan lokasi, kontur, dan iklim wilayah tersebut, tetapi juga struktur masyarakatnya. Tidak peduli berada di daerah pesisir atau pegunungan; kota atau desa; bila masyarakat di daerah tersebut memiliki tingkat ekonomi yang rendah, dengan piramida penduduk cenderung lebih banyak generasi lawas dan atau anak-anak, apalagi minim sarana kesehatan dan perlindungan, maka daerah tersebut termasuk rentan terhadap bencana.
Sebaliknya, meskipun daerah tersebut kerap disambangi bencana, seperti angin topan, gempa bumi, tsunami, gunung meletus, atau aneka bencana lainnya; namun mereka memiliki akses yang baik terhadap fasilitas, seperti kesehatan, pendidikan, dan tempat perlindungan, maka masyarakat tersebut dikategorikan tahan bencana. Contohnya konkretnya adalah Jepang vs Indonesia. Negara Jepang dan Indonesia sama-sama berada di atas lempeng benua. Keduanya sering terpapar bencana, namun tingkat kerentanan Negara Indonesia lebih tinggi dari Jepang. Ini karena Jepang memiliki teknologi yang dapat mengantisipasi bencana. Masyarakat di Negara tersebut juga memiliki akses yang lebih baik terhadap fasilitas kesehatan dan keamanan.
Ini adalah kutipan singkat apa yang disampaikan dalam training 4 hari yang bertema “Training Course on Climate Variability and Disaster Risk Reduction”, pada tanggal 9 – 12 Maret 2015. Training ini adalah hajat gabungan antara Departemen Meteorologi dan Geofisika, Institut Pertanian Bogor (Dept. GEOMET IPB) sebagai tuan rumah, dengan pihak UNU-EHS (United Nation University-Environment and Human Security), Jerman. Training selama 4 hari yang diselenggarakan di Kampus IPB, Dramaga, Bogor ini dilakukan dengan tujuan menambah wawasan mengenai kajian kerentanan wilayah akibat perubahan iklim, mengembangkan indikator kerentanan, dan menemukan solusi tentang pengelolaan sumberdaya yang berkaitan dengan perubahan iklim.
Pada training itu, diperjelas bahwa bencana lingkungan tidak melulu terjadi akibat perubahan iklim. Tsunami, gunung meletus, gempa, merupakan bencana lingkungan. Akan tetapi bukan terjadi akibat perubahan iklim. Bencana yang seperti ini tidak dapat dihindari, tetapi kita dapat mempersenjatai wilayah dengan mitigasi bencana, seperti program early warning system yang telah dilakukan beberapa Negara secara terpadu, termasuk Indonesia. Dalam kuliahnya, Mr. Joerg Szarzynski (UNU-EHS) menyampaikan bahwa negara-negara yang memiliki satelit di Luar Angkasa, dapat memperoleh informasi akurat mengenai keadaan di bumi. Informasi tersebut kemudian diteruskan pada satelit penerima di bumi, diolah, dan diinformasikan ke Negara yang bersangkutan. Dengan demikian, Negara yang akan terkena bencana dapat melakukan tindakan untuk memperkecil dampak bencana. Hebatnya, sistem ini dapat menerobos segala aturan politik yang ada di Negara tersebut. Dalam Keadaan Genting, Aturan Politik Menjadi Tidak Penting. Selanjutnya, Dr. Perdinan (Dosen Dept. GEOMET IPB) membahas detil mengenai aturan main pemerintah yang diterapkan di Indonesia terkait dengan kebencanaan.

Pada kasus yang lain, ada bencana yang terjadi akibat perubahan iklim. Ini berlangsung terus menerus, secara perlahan, namun mengakibatkan dampak yang besar apabila tidak dilakukan tindakan pencegahan. Contoh untuk daerah pesisir adalah kenaikan muka air laut, penurunan tanah, erosi pantai, perubahan pola curah hujan, dan lain sebagainya. Karena dapat diprediksi, maka dapat melakukan tindakan pencegahan. Untuk tipe bencana yang demikian, Dr. Renaud Fabrice dan Dr. Ferdinan menyampaikan bahwa penting untuk melakukan pemetaan kerentanan, kemudian kombinasi antara pembangunan bangunan massif sebagai benteng perlindungan, pemeliharaan ekosistem tepi pantai sangat penting untuk dilakukan. Disamping pembangunan berbagai sarana kesehatan, posko perlindungan untuk tempat perlindungan bila terjadi bencana. Ketiganya dapat saling mendukung untuk mengurangi resiko akibat perubahan iklim.
Salah satu kasus yang diangkat dalam training tersebut adalah banjir Jakarta. Peserta dari berbagai kalangan: akademisi (LIPI dan mahasiswa Dept. GEOMET IPB), juga praktisi (petani pemilik lahan), dan institusi yang berhubungan dengan mitigasi bencana (BMKG dan KEMENTAN) diberi informasi secara padat, jelas, dan ringkas mengenai pola curah hujan di Jakarta dan wilayah sekitarnya. Berdasarkan gambaran yang disampaikan Dr. Imam Hidayat dan Dr Ahmad Faqih (Dosen Dept. GEOMET IPB) mengenai pergerakan awan dan intensitas curah hujan di atas langit Jakarta dari tahun ke tahun. Curah hujan ini bersifat tetap karena cenderung dipengaruhi oleh kontur daratan dan perbedaan suhu harian. Mengapa sampai banjir? Jawaban ini didapat dari tinjauan lapang selama satu hari ke bagian hulu sungai Ciliwung. Dari kunjungan tersebut dapat disimpulkan bahwa banjir Jakarta terjadi karena curah hujan yang semakin tinggi. Tata guna lahan di hulu sungai yang mayoritas diperuntukkan untuk bangunan dan pertanian semakin memperparah erosi di aliran DAS Ciliwung. Hasilnya, tanah tidak dapat menyerap air, sungai tidak mampu menampung debit air yang besar. Akhirnya…banjir deh.

Catatan. tulisan ini sudah pernah di publish di wartakita vol 8(4) 2015 Pusat Penelitian Biologi





No comments:

Post a Comment